Wednesday, August 25, 2010

Disamping itu … henteu dicalana

Judul di atas adalah gurauan temen-teman main ketika saya masih kecil. “Samping” dalam bahasa Sunda berarti “kain sarung” (atau bisa juga kain batik). Jadi “disamping” berarti “memakai kain sarung”. “Henteu dicalana” artinya “tidak bercelana”.
Mengapa sampai terjadi asosiasi antara “memakai kain sarung” dengan “tidak bercelana”? Begini ceritanya.
Di kampung saya, laki-laki yang sudah berumur suka punya penyakit sulit berhenti kecing. Mungkin ada masalah dalam otot mereka sekitar area itu. Jadi, dalam beberapa waktu setelah kencing, beberapa tetes air kencing masih tetap keluar. Repotnya hal itu terjadi setelah mereka memakai celana dalam, sehingga kotorlah celana dalam mereka dengan air kencing.
Walaupun hanya satu dua tetes yang tertumpah ke celana dalam, tapi karena air kencing kualifikasinya nazis maka hal ini membuat mereka merasa tidak pantas memakai celana tersebut ketika solat. Jadi sebelum mereka wudu menjelang solat, mereka buka itu celana dalam, lalu mereka memakai kain sarung. Jadi mereka solat memakai kain sarung, tanpa memakai celana dalam. Dari situlah timbul gurauan dalam bahasa Sunda: “disamping … henteu dicalana.” Atau, “memakai kain … tidak bercelana dalam.”
Jadi, kalau ada teman sedang bicara dalam bahasa Indonesia, mengucapkan “di samping itu” … maka akan disambut dengan “hentu dicalana”. Kalau guru yang mengucapkan “disamping itu”, kami ucapkan juga plesetan itu, tapi sambil berbisik supaya tidak dimarahi.
(23 Agustus 2010)