Monday, February 09, 2009

Bahasa Empat Negara

Sekitar 20 tahun yang lalu, ada sebuah pertemuan nasional yang membahas Bahasa Indonesia. Pertemuan tesebut dihadiri juga oleh utusan dari negara tetangga, yaitu Singapur, Malaysia dan Brunei. Dalam pertemuan tersebut oleh peserta dari luar Indonesia, dikemukakan gagasan untuk membangun satu bahasa yang merupakan gabungan dari Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu (yang penuturnya ada di tiga negara tersebut di atas). Bahasa baru tersebut diusulkan untuk diberi nama Bahasa Nusantara. Gagasan tersebut ditolak oleh Pak Harto. Mungkin argumen beliau : kalau mau gabung silahkan saja, tapi nama Bahasa Indonesia jangan hilang.
Saya berandai-andai, kalau saja waktu itu gagasan Bahasa Nusantara disetujui dan difasilitasi, maka sekarang penerbitan buku di Indonesia akan lebih marak karena buku kita bisa dijual di negara tetangga yang nota bene pendapatannya jauh lebih tinggi dari Indonesia. Penulis novel seperti Kang Jamal temen kita, akan menerima lebih banyak royalti. Dosen-dosen kita pun akan rajin menulis buku karena bisa dijual di luar negeri dengan harga lebih tinggi. Saya cukup yakin, dengan potensi penulis Indonesia (sastra, teknik, agama, filsafat), kita dapat memperoleh manfaat ekonomi dari mengekspor buku ke Malaysia, Singapur atau Brunei.
Menurut saya, "penggabungan" bahasa ini tidak usah melalui jalur formal. Dengan "pergaulan" yang lebih intim kita bisa membinanya. Tapi faktanya sekarang orang Indonesia cenderung untuk menertawakan orang Malaysia yang berusaha bicara Bahasa Melayu dengan kita, sehingga mereka cenderung memakai bahasa Inggeris. Jadi kita harus mengikis kebiasaan menertawakan ini. Saya pernah mendengar teman tertawa ketika seorang Malaysia mengucapkan yang berikut : Datanglah ke bilikku. / Minta teh limau. / Apa lucunya?
Kita punya segudang istilah-istilah bikinan kita sendiri dan menyebutkannya seakan-akan itu diucapkan oleh orang Malaysia : rumah sakit korban laki-laki (rumah sakit bersalin), askar tak berguna (veteran), pasukan bergayut (pasukan payung), setubuh bumi (tiarap). Saya cukup yakin kata-kata itu peninggalan dari jaman Dwikora. Seorang Malaysia yang cukup berumur menegaskan bahwa tidak ada kata-kata itu. Sebaiknya kata-kata itu kita kubur dalam-dalam saja.
Yang bisa saya bayangkan, penggabungan bahasa di empat negara ini dapat terjadi dengan cara (1) menyamakan pola pembentukan istilah, (2) saling pinjam istilah, sehingga padanan kata-kata (sinonim) akan makin banyak, (3) produk media masa (elektronik dan cetak) diedarkan lintas batas negara, (4) bahan bacaan (berbagai jenis) diedarkan juga lintas batas negara. Dengan demikian masyarakat akan makin terbiasa dengan pemakaian kata-kata di tiga negara lain.
Yang saya ketahui lewat pengamatan sendiri, film Indonesia dijajakan oleh Turino Junaedi (produser dan sutradara) di Malaysia. Ada beberapa film hasil kerjasama Iantara Malaysia dan Indonesia. Ada beberapa lagu Indonesia yang populer di Malaysia, atau sebaliknya. Atau, ada musisi Indonesia yang populer disana (Sheila on 7) atau penyanyi Malaysia yang populer di sini (Sheila Madjid dan Siti Nurhalizah). Ada film seri bikinan Singapur yang diputar disini (tapi memakai Bahasa Inggeris). Koran dan majalah belum pernah kelihatan. Buku baru buku komik seri Lat, yang banyak dibicarakan disini. Public speaker dari Malaysia kadang-kadang manggung di Jakarta (termasuk mantan PM Mahathir Muhammad).
Ada satu judul lagu Sheila on 7 yang ditolak Malaysia "Pejantan Tangguh". Menurut saya itu masuk akal. Dalam Bahasa Indonesia pun kata "pejantan" dipakai untuk sapi, kuda atau anjing yang tugasnya menghamili betina. Jadi, kayaknya lebih relevan kalau istilah ini dipakai dalam buku mengenai peternakan, bukan unuk judul lagu.
Kita, orang teknik, berpotensi untuk memberi kontribusi pada "penggabungan" ini, asalkan kita konsisten dalam pembentukan istilah teknik. Kalau diperlukan istilah baru, Malaysia cenderung untuk mengambil kata dari Bahasa Inggeris, lalu diganti ejaannya (spelling) sehingga lebih mirip dengan lapalnya (pronounciation). Misalnya "agent" menjadi "ejen" (kalau tidak salah ingat). Bisa dicontoh pola Dr Tata Surdia yang saya baca dalam buku tulisannya : Ilmu Logam. Suffix "-ability", beliau terjemahkan menjadi "keter-". Jadi, "weldabilty" beliau terjemahkan menjadi "keter-las-an", karena "weld" sudah ada terjemahannya yaitu "las". Kalau kita konsisten dengan pola seperti ini, maka orang luar akan suka mempelajari dan berbicara dalam Bahasa Indonesia.
Anda yang sering keluar masuk Malaysia dapat memberi buah-tangan berupa buku atau majalah pada rekan bisnis Malaysianya. Pulang dari Malaysia, anda dapat membawa oleh-oleh berupa komik Lat. Dengan demikian, kita akan membuat kontribusi untuk membangun saling pengertian dalam bidang bahasa. Kalau Eropa bisa punya satu mata uang, mengapa empat negara ini tidak bisa mempunyai satu bahasa suatu hari nanti.
(Dikirim ke milis IA-ITB, 17 Juli 2006)

No comments:

Post a Comment

Jangan beriklan di sini!