Tuesday, May 27, 2008

Ada Kehidupan Hangat di Negeri Salju


Hari Sabtu, pagi-pagi sekali sambil menggigil saya menelepon Emil. Sebelumnya, saya lihat dari jendela kamar, salju sudah menutupi jalan. Di beberapa bagian, salju pasti sudah menjadi es sehingga licin kalau diinjak.
“Selamat pagi. Bisa bicara dengan Emil?”, tanya saya ketika telepon sudah tersambung.
“Tentu bisa. Siapa ini?” Lelaki yang mengangkat telepon di seberang sana bertanya dengan suara bariton dan terdengar jantan, pasti bukan Emil. Walaupun fisiknya laki-laki, gerak-gerik Emil dan cara bicaranya lebih mirip perempuan.
“Saya … eeeh … seorang penghuni kamar di depat Station Den Haag.”
“Tunggu sebentar.” Tidak lama kemudian Emil bicara di telepon.
“Selamat pagi … apa yang bisa saya bantu. Emil disini. Ada masalah dengan kamarnya?”
“Persis. Saya Bambang. Pemanas di kamar saya rusak tadi malam. Saya hampir mati kedinginan. Tolong dibetulkan pagi ini, segeralah Emil.”
“Saya tidak bisa pagi ini. Saya sudah punya janji. Tapi saya pasti akan datang sore nanti. Jangan khawatir nanti malam pemanas itu akan bisa kamu pakai lagi.”
“Tapi bagaimana saya bisa bertahan hidup siang ini tanpa pemanas? Salju sudah banyak di luar. Tolonglah. Perbaikilah pagi ini.”
Sebenarnya siang itu saya ingin memakai pemanas itu untuk mengeringkan pakaian saya. Tapi alasan itu urung saya kemukakan pada Emil. Orang Srilangka di kamar sebelah bilang bahwa Emil pasti tidak suka jika pemanas kamar dipakai untuk mengeringkan pakaian yang baru dicuci. Biasanya pemanas akan cepat rusak, katanya. Mungkin itu juga yang menyebabkan pemanas di kamar saya itu rusak tadi subuh.
“Bambang, siang ini kamu pergilah melihat-lihat kota Den Haag. Kamu masih muda harus banyak melihat. Oke? Jangan khawatir, saya akan mengurus kamar kalian baik-baik. Nanti sore pemanas akan saya perbaiki. Mungkin juga saya datang lebih siang, kalau pertemuan saya pagi ini cepat selesai.” Dia lalu menutup telepon.
Saya kecewa dengan penolakan itu. Hari Sabtu sudah saya jadwalkan sebagai hari mencuci. Apa yang akan dikatakan orang jika melihat saya berbaju kotor atau kusut. Kalau saya berjalan di samping Raymond orang Ambon yang perlente itu, kesenjangan akan terlihat jelas. Jadi … tekad saya … pakaian kotor dari seminggu terakhir ini, harus dicuci hari Sabtu ini juga, bagaimanapun caranya. Saya tidak bisa mengerjakannya pada hari Minggu, karena saya sudah punya acara lain. Di dapur, saya bertemu dengan teman se-apartemen, dua orang dari Srilangka. Mendengar keluhan dari saya mereka menawarkan pemanasnya untuk dipakai. Tapi saya tolak. Besar kemungkinan, pemanas di kamar saya dan di kamar mereka umurnya sama. Kalau yang di kamar saya hari ini rusak, bisa saja pemanas di kamar mereka dalam hitungan jam akan rusak juga. Kalau janji Emil untuk memperbaiki pemanas saya sore ini meleset, dan pemanas di kamar sebelah juga rusak siang ini, maka seluruh apartemen akan dingin total nanti malam. Tidak ada tempat untuk mengungsi. Kesimpulannya, memakai pemanas mereka untuk mengeringkan cucian saya, bukan keputusan yang baik.
Jadi akhirnya pagi itu saya pergi membawa tas berisi pakaian kotor menuju penatu terdekat. Saya pernah lewat di depannya beberapa kali, jadi saya tahu kemana harus pergi. Secara umum saya sudah tahu bahwa mesin cuci otomatis dan self service itu akan beroperasi setelah kita masukan uang koin tertentu. Tapi saya terkejut melihat petunjuk pemakaian yang panjangnya sampai delapan baris. Dalam bahasa Belanda pula. Ooh … kalau tahu akan begini, saya tadi akan membawa kamus bahasa Belanda. Saya tertegun lama di depan satu mesin cuci, memelototi petunjuk itu, mengira-ngira apa artinya. Apakah saya harus kembali ke apartemen untuk mengambil kamus dulu? Apakah akan aman kalau saya tinggalkan tas disini? Bagaimana saya menjelaskan pada pemilik penatu ini tentang apa yang terjadi dengan saya? Belum tentu juga dia bisa mengerti bahasa Inggeris saya. Sementara bahasa Belanda saya terbatas pada kata kerja, kata benda atau kata sifat. Struktur kalimat saya masih acak-acakan. Ah … memalukan sekali.
Tiba-tiba seorang lelaki mendekati saya. Mungkin dia sedari tadi memperhatikan saya dan memahami masalah saya. Dia berusaha bicara walaupun terbata-bata, kelihatannya dia punya hambatan dengan otot bibir atau lidahnya. Saya punya perasaan, orang ini sedang berusaha menjelaskan cara memakai mesin ini. Saya punya cukup kosa kata bahasa Belanda, tapi tak satupun kata yang bisa saya tangkap dari orang ini. Di tanah air, kalau bertemu dengan orang berbicara seperti ini, saya akan menyebut orang ini terbelakang. Tapi karena wajah laki-laki ini mengingatkan saya pada Stephen Hawking, saya jadi khawatir kata “terbelakang” malah lebih cocok diterapkan pada saya. Mungkin dia menjadi tidak sabar melihat saya lambat mengerti apa yang dia katakan. Lalu dia menyederhanakan instruksinya. Tangan saya dituntun ke tempat saya bisa memperoleh deterjen. Lalu saya disuruh memasukan pakaian kotor ke mesin. Lalu isi air. Lalu masukan deterjen. Lalu masukan koin. Lalu tekan satu kenop. Ngeeeeng … mesin cuci mulai mencuci baju saya.
Setelah mengerti cara mengoperasikan mesin yang ini, maka mengoperasikan mesin pengering akan mudah saja. Stephen Hawking terlihat sibuk dengan cuciannya sendiri. Saya juga merasa tidak akan ada gunanya mencoba beramah-tamah kepadanya, karena jelas ada kesenjangan komunikasi, terlebih untuk konsep-konsep yang lebih rumit jika dibanding menyalakan mesin cuci. Jadi saya sibukkan diri saya sendiri dengan membaca buku yang saya bawa. Tapi setelah selesai dengan mesin pengering, sebelum saya pulang, saya menghampiri dia.
“Terima kasih. Kamu baru saja menyelamatkan saya”, ucap saya dalam bahasa Indonesia dan Inggeris, sambil menjabat erat tangan laki-laki itu dengan tulus. Saya yakin dia mengerti rasa penghargaan saya, dalam bahasa apapun saya mengucapkannya. Saya pulang berjalan pulang ke apartemen dengan membawa baju bersih dan kering, dan tangan kanan yang masih hangat bekas dipegang oleh Stephen Hawking.

No comments:

Post a Comment

Jangan beriklan di sini!