Saturday, May 10, 2008

Meredupnya Pelita Inspirasi Sahrap


Sahrap sangat yakin bahwa otaknya bekerja seperti pemancar radio sedangkan otak orang lain bekerja sebagai pesawat penerima. Gagasan yang dia pikirkan akan terpancar keluar dan ditangkap oleh otak orang-orang sebagai inspirasi, untuk dilaksankan atau dicarikan rinciannya secara lebih ilmiah. Oleh karena itulah Sahrap giat memikirkan gagasan baru yang baik-baik, dengan harapan dunia di sekelilingnya akan berubah menjadi baik. Sangat dihindari oleh Sahrap, berpikir tentang gagasan jahat yang mencelakakan orang lain. Sahrap sangat khawatir, kalau sampai dia membuat gagasan jahat, gagasan ini akan menjadi inspirasi orang-orang untuk berbuat jahat.
Mulanya Sahrap tidak sadar bahwa dia punya kekuatan pemancaran seperti itu. Mula-mulanya dia menyangka kejadian-kejadian berikut ini hanya kebetulan saja terjadi. Pernah dia menuangkan gagasannya dalam beberapa tulisan pendek yang dia kirim ke maling list yang dia ikuti. Biasanya, tidak lama setelah itu, dalam surat kabar muncul berita tentang kegiatan yang dapat dikatakan pelaksanaan dari gagasan Sahrap. Misalnya, Sahrap pernah menuliskan gagasannya tentang gagasan tour jalan kaki menyusuri bangunan tua di kota B. Tak lama kemudian pemerintah daerah kota J meluncurkan program jalan-jalan menyusuri kota tua. Sahrap bisa menjamin bahwa gagasan dia adalah orisinil dan mucul dari dia sendiri, sama sekali bukan pengembangan dari gagasan orang lain.
Pernah juga Sahrap menulis gagasan mengenai diadakannya kegiatan joy flight dengan helikopter untuk mencari dana untuk kegiatan sosial. Selang sebulan setelah itu, Sahrap melihat balon raksasa melayang-layang di langit bertuliskan nama produk rokok yang baru diluncurkan. Pada balon tersebut dipasangi gondola yang bisa dimuati orang. Dengan membayar sejumlah besar uang, orang dapat terbang melihat kota J dari angkasa, dengan naik balon tersebut. Oleh pabrik rokok tersebut, uang yang diterima disumbangkan pada PMI. Semua sama-sama senang.
Sahrap pernah mengirim satu artikel ke surat kabar. Artikelnya membahas bencana lumpur panas kota S dari sudut eksternalitas sebagaimana dikenal dalam ilmu ekonomi. Artikel tersebut ditolak oleh surat kabar, tapi beberapa hari kemudian di surat kabar yang sama, muncul artikel mengenai eksternalitas yang ditulis oleh penulis yang mempunyai beberapa gelar profesi ditambah dengan kedudukan sebagai ketua asosiasi profesi. Sahrap mulanya merasa berang, tapi keinginannya untuk mengirim protes lewat surat pembaca diurungkan. Siapa pula yang akan percaya bahwa profesor doktor itu telah membajak gagasan Sahrap yang bukan apa-apa. Paling jauh orang-orang akan percaya bahwa ini hanya koinsidensi.
Begitulah mulanya. Sahrap menyangka orang-orang terinspirasi oleh tulisannya yang dia kirim ke maling list atau surat kabar. Belakangan terbukti bahwa penularan gagasan tidak hanya terjadi lewat maling list. Beberapa tulisan Sahrap, tidak dia kirim ke maling list, melainkan dia muat di blog pribadi yang terbuka untuk publik, tapi toh bisa menular juga gagasannya.
Di blog ini biasanya Sahrap menuliskan hasil perenungannya mengenai kejadian-kejadian aktual. Suatu kali dia membuat tulisan yang mengomentari mengenai peraturan pemerintah daerah kota J yang melarang warga memelihara unggas di wilayahnya. Sahrap menggambarkan peristiwa ini sebagai pakta non kohabitasi antara manusia dengan unggas. Selama ini kata “pakta” di hubungkan dengan kata “kohabitasi”. Dalam kasus unggas ini Sahrap membuat kreasi rangkaian-kata baru, yaitu frase “pakta non kohabitasi”. Dua hari setelah dia memuat perenungan ini dalam blog, muncul tulisan oleh seorang pengamat politik yang juga memakai frase “pakta non kohabitasi”.
Kali ini Sahrap mengambil sikap-hati yang lain dalam menerima hal seperti ini. Dia masih yakin bahwa pengamat politik tersebut terinspirasi oleh tulisannya. Bagaimana mungkin ada dua orang yang berjauhan tempatnya, tidak pernah ketemu, secara hampir bersamaan menemukan kombinasi tiga kata tersebut : “pakta”, “non” dan “kohabitasi”. Karena tulisan Sahrap dipublikasikan lebih dulu lewat blog, maka dapat dikatakan si pengamat politik itulah yang terinspirasi. Tinggal dicari buktinya bahwa si pengamat politik itu pernah singgah di blog milik Sahrap.
Sikap hati Sahrap sekarang adalah bahwa biarlah orang terinspirasi oleh tulisannya. Sahrap mengambil posisi sebagai pabrik gagasan. Biarlah orang-orang melanjutkan gagasannya itu dalam bentuk tulisan lain yang lebih ilmiah, atau dalam bentuk tindakan-tindakan yang merupakan penerapan dari gagasan Sahrap. Orang bijak bilang bahwa perbuatan baik dapat dilakukan dengan tangan, dengan ucapan, atau paling sedikit dengan doa saja. Sahrap ingin menambahkan bahwa menyusun gagasan yang baik pun sudah merupakan perbuatan baik. Gagasan yang baik adalah doa yang dirinci secara sistimatis, siap untuk disampaikan pada Yang Maha Kuasa agar mendapat persetujuannya, dan masih memerlukan langkah-langkah pelaksanaan agar dapat terwujud.
Peristiwa-peristiwa di atas terus berkembang dan merubah pendapat Sahrap tentang bagaimana caranya gagasan bisa menular. Ada satu kejadian yang memberi keyakinan pada Sahrap bahwa penularan gagasan itu bukan hanya lewat tulisan yang sudah dia publikasikan. Apapun yang masih ada dalam pikiran Sahrap, sudah bisa terpancar. Benar … hanya lewat pikiran. Sahrap yakin bahwa hampir satu waktu dengan saat Sahrap berpikir, dan atau saat Sahrap menuliskannya di laptop, maka sudah ada orang di bagian lain di dunia ini sudah terinspirasi oleh gagasan Sahrap. Tidak usah lewat tulisan. Ini terjadi setelah Sahrap terpaksa memutuskan langganan internet karena alasan keuangan. Jadi tak mungkin lagi ada orang menyadap laptop Sahrap lewat sambungan internet. Oleh karena itulah Sahrap menjadi yakin bahwa gagasan dapat memancar lewat otaknya seperti siaran radio memancar dari studio. Gelombang pancaran tersebut akan mencari otak-otak yang sedang diset pada panjang gelombang yang sama. Lalu akan terjadilah penularan gagasan.
Kejadiannya begini. Sahrap merasa sangat terganggu dengan cara pengendara motor menjalankan motornya. Sahrap berniat menyorot perilaku pengendara sepeda motor, khususnya tentang cara mereka memakai klakson. Dalam kepalanya, Sahrap sudah mereka-reka isi tulisannya. Dalam laptopnya Sahrap sudah membuat file dengan judul “Klakson Cap Tongkat Musa”. Frase “tongkat Musa” ditonjolkan oleh Sahrap karena amat cocok untuk menggambarkan cara para pengendara motor menggunakan klaksonnya. Setiap kali mereka menyalakan klakson, mereka mengharap semua kendaraan di depannya akan tersibak dan memberi jalan padanya. Ini persis seperti Musa yang memakai tongkatnya untuk menyibak air laut ketika dia ingin menyelamatkan umatnya.
File tersebut dibuat pada suatu hari Jumat. Pada hari Minggu setelahnya di surat kabar muncul tulisan kolom berjudul “Klakson”, dengan isi yang kurang lebih sama tapi dengan sudut pandang yang agak berbeda.
Seolah dituntun oleh tangan gaib, suatu kali Sahrap menonton satu film yang diputar di televisi yang menceritakan penelitian yang kesimpulannya membentuk sikap Sahrap yang terakhir. Penelitian tersebut dilakukan pada dua kelompok kera di satu pulau kecil. Pulau tersebut sebenarnya adalah satu gunung api yang muncul di tengah laut. Kelompok kera yang satu menempati satu kaki dari gunung tersebut. Sedangkan kelompok yang kedua menempati kaki lain dari gunung tersebut. Ada pemisah alami yang membuat dua kelompok kera tersebut tidak bisa berhubungan fisik antara yang satu dengan yang lain.
Satu hari, tim peneliti menemukan bahwa kelompok kera yang satu terlihat menemukan cara membuka buah kelapa, sehingga kera-kera itu bisa memakan isinya. Pada saat yang hampir sama, dalam kelompok kera yang lain terjadi pula hal yang sama, mereka menemukan cara membuka buah kelapa yang persis sama. Apakah ini suatu koinsidensi? Atau penyadapan lewat internet? Penelitinya bilang bahwa seolah terjadi komunikasi di antara dua kelompok kera itu, dari jarak jauh, dan tanpa alat, yang membuat kedua kelompok kera itu dapat saling menularkan kemampuannya.
Ada dua kejadian yang membuat Sahrap enggan memikirkan hal yang jelek-jelek, seperti bencana misalnya. Tapi kadang dia melakukannya tanpa sengaja. Suatu hari Sahrap menulis dan mengirim ke maling list, tulisan penuh canda tentang bagaimana disiplin ilmu dapat menyerap kebijaksanaan nenek moyang. Sahrap menganjurkan agar ahli teknik bisa membuat teknologi sedemikian sehingga air bisa mengalir di pipa dengan lancar seperti “air di daun keladi”. Mereka yang belajar manajemen sebaiknya mampu mengelola agar manusia bisa senantiasa produktif seperti yang diungkapkan peribahasa “duduk meraut ranjau, tegak meninjau jarak”. Lalu, mereka yang berprofesi sebagai penata wilayah sebaiknya mempertimbangkan resiko bencana alam di tiap tempat, sehingga “kalau takut dilebur pasang, jangan berumah di tepi pantai”. Beberapa bulan kemudian bencana tsunami melanda Aceh.
Yang terakhir adalah tulisan yang dimuat di blog, tentang pengalaman Sahrap yang tidak berhasil mendapat ruang untuk memarkir mobilnya di satu gedung parkir di kota J. Sahrap menulis bahwa dia harus mengemudi mobilnya mundur menuruni jalan dari lantai enam. Ini terjadi karena untuk memutar arah mobil saja pun tidak tersedia ruang. Ditulis oleh Sahrap bahwa dia sangat khawatir pantat mobilnya menabrak pagar pembatas lalu mobilnya jatuh dari lantai enam. Beberapa hari kemudian, di sebuah gedung parkir di kota J, ada sebuah mobil menabrak pagar pembatas sehingga jatuh dari lantai enam. Semua penumpangnya tewas seketika. Setelah itu Sahrap membuat rasionalisasi untuk menghilangkan rasa bersalah di hatinya : kejadian ini tidak terjadi karena inspirasi yang datang dari gagasan dia. Sahrap meyakinkan dirinya bahwa tulisannya lebih mungkin berlaku sebagai peringatan.
Koinsidensi, penularan inspirasi, atau pemancaran gagasan secara radio, atau peringatan, terus saja berlangsung. Sahrap pernah menulis pada laptop-nya, untuk persiapan kuliah yang dia berikan di satu sekolah tinggi teknik, tulisan mengenai macam-macam bentuk pemakaian sungai secara antroprologis. Beberapa minggu kemudian, muncul laporan perjalanan wartawan surat kabar yang selama berhari-hari menyusuri satu sungai besar di Pulau Jawa.
Kini Sahrap tergolek tidak berdaya di atas ranjangnya. Kanker sedang menggerogoti otaknya. Situasi keuangannya pun buruk karena dia terlalu keranjingan menulis, sehingga kurang menunjukkan kinerja di kantornya dan dia lalu kehilangan pekerjaan. Padahal tulisannya pun tidak menghasilkan uang. Tidak ada uang untuk berobat. Yang dia lakukan hanya memasrahkan dirinya pada Sang Pemilik Hidup. Yang paling dia sedihkan adalah karena dia jadi berhenti menulis. Siapa lagi yang akan menciptakan gagasan yang dapat memberi inspirasi pada orang-orang?
Satu hal yang masih ingin dibuktikan oleh Sahrap adalah apakah orang lain juga otaknya bisa bekerja seperti pemancar, sebagaimana terjadi padanya. Jika benar, maka Sahrap ingin menyerukan pada semua orang agar berhenti membuat gagasan buruk, karena walaupun hal itu masih dalam tahap dalam pikiran, pancarannya bisa menular ke banyak orang. Sahrap ingin semua orang di dunia berbuat yang sama seperti dia, berpikir yang baik-baik saja.
(Bintaro Jaya, 24 Juni 2007)

No comments:

Post a Comment

Jangan beriklan di sini!