Thursday, May 15, 2008

Laki-laki Tua Penyelamat Hidup


Cuaca di Den Haag tidak ramah, suhu di bawah nol. Semua terlihat putih di jalan. Semua air yang terkena udara luar akan beku. Sebaiknya kita tidak membuka mulut kalau sedang di luar, atau lidah akan kelu. Seorang Belanda Indo kenalan saya bilang bahwa kalau masih baru di Belanda, dalam musim dingin seperti ini sebaiknya tidak pergi ke Belanda Utara, karena disana lebih dingin lagi. Di Texel misalnya, kalau telinga lupa ditutup syal sehingga langsung terkena angin, sebentar saja telinga sudah menjadi regas seperti kerupuk.

Inilah hal yang paling tidak nyaman kalau orang dari negara tropis datang ke Belanda pada musim dingin. Mereka harus membawa koper besar, bukan karena genit membawa pakaian banyak-banyak agar bisa setiap hari bersalin dua atau tiga kali. Melainkan, mereka harus membawa pakaian yang tebal-tebal. Lain lagi kalau sebaliknya. Orang Belanda yang datang ke Indonesia bahkan kebanyakan tidak membawa jas. Kalaupun mereka bawa, hanya jas tropis tipis saja, yang tidak setebal jas wol. Dengan demikian, kopernya pun kecil saja.

Ketidak-nyamanan yang lain adalah bahwa kita harus pakai dan buka baju hangat kita ganti berganti, berkali-kali dalam satu hari. Karena dalam musim dingin udara di luar begitu dingin dan angin bertiup kencang, maka sebelum keluar rumah kita harus melaksanakan upacara rutin : memakai berlapis-lapis baju dan perlengkapan. Setelah baju dalam dan kemeja, laki-laki akan memakai rompi. Lalu syal diikatkan dengan rapih dan kencang tapi tidak mencekik. Lalu overcoat yang panjangnya sampai ke lutut. Lalu sarung tangan. Terakhir, topi dipasang dengan erat agar tidak terbang. Hampir tidak ada area pada kulit yang terpapar pada udara luar Kalau tidak begitu, mereka bilang angin dingin akan membuat kita jatuh sakit.

Sebelum kita masuk ke rumah orang, kantor atau restoran, kita harus melakukan upacara membuka lapisan-lapisan baju tersebut. Overcoat, topi dan syal biasanya ditanggalkan di dekat pintu masuk, karena di dalam ruangan mereka sudah memasang pemanas.

“Apakah semua barang ini milikmu, Bambang? Bukankah di Indonesia tidak ada salju? Kamu tidak harus memilikinya,” kata seorang Belanda berkelakar ketika melihat saya membuka overcoat, syal, dan sarung tangan.

“Saya lihat kamu punya sunglasess, padahal selama dua hari saya disini, tidak pernah melihat matahari,” balas saya.

Di kantor, hanya kalau ada menerima tamu penting mereka memakai jas. Kebanyakan orang hanya memakai kemeja di ruangan kerjanya. Di kantor atau di rumah, kalau mau menghemat rekening energi pemanas, suhu ruangan bisa sedikit diturunkan, dan kita memakai vest atau mantel.

Hari itu hari pertama saya tinggal di apartemen, setelah beberapa hari menginap di rumah bibinya Raymond di Rijswijk. Cuaca di Den Haag sedang tidak ramah. Semua air yang terkena udara luar, akan membeku. Tapi saya harus keluar membeli lauk untuk makan malam. Orang Srilangka di kamar sebelah berjanji akan memberi saya nasi setiap makan malam, dengan syarat saya membuatkan kopi untuk mereka setiap pagi. Jadi saya harus mencari lauknya sendiri.

Waktu pulang dari Delft tadi sore saya melihat satu kios yang menjual ikan matang di dekat setasiun. Malahan sudah melihat-lihat jenis ikan apa saja yang dia jual, bagaimana memasaknya dan berapa harganya. Seharusnya waktu itulah saya membeli ikan untuk makan malam. Tapi waktu itu uang di dompet tidak cukup, sehingga saya harus pulang dulu ke apartemen untuk mengambil uang, dan pergi lagi keluar.

Jarak ke kios penjual ikan matang tidak begitu jauh, tapi dalam cuaca seperti itu terasa lebih jauh. Ketika berjalan, kedua tangan saya masuk ke saku celana, dan lengan sepanjangnya rapat ke badan. Saya berusaha mengacuhkan situasi sekeliling, tapi yang muncul dalam pikiran malahan puisi tulisan Wing Karjo yang dijadikan syair lagu oleh Bimbo. Judul puisi itu adalah Salju.

Kemana akan pergi

Mencari matahari

Ketika salju turun

Pohon kehilangan daun

Kemana akan jalan

Mencari lindungan

Ketika tubuh kuyup

Dan pintu tertutup

Kemana akan lari

Mencari api

Ketika bara hati

Padam tak berarti

Saya tidak perlu waktu lama untuk memilih dan membeli ikan matang itu, karena sebelumnya sudah pernah kesana.

Waktu kembali ke apartemen, sebelum masuk ke pintu kamar, saya harus melalui dua pintu. Disinilah, di pintu luar, terjadi persoalan. Saya sudah lakukan semua yang diajarkan oleh Emil si pengelola gedung. Dia bilang, anak kunci harus dimasukkan ke lubangnya, lalu dimiringkan ke kiri, putar anak kunci setengah lingkaran ke kanan, miringkan ke kanan, lalu putar ke kanan lagi sampai ada bunyi klik. Setelah dicoba delapan kali, selama sepuluh menit, tidak ada tanda pintu bisa dibuka. Angin dingin masuk lewat hidung lalu menusuk di dada. Bernafas menjadi sulit. Saya lalu berusaha bernafas lewat mulut agar lebih banyak oksigen yang bisa masuk. Tapi ini malah membuat lidah dan mulut terasa kelu. Bernafas menjadi makin sulit. Oh … Tuhan … akankah saya mati kedinginan dan kehabisan nafas di depan pintu ini?

Tiba-tiba satu tangan berkulit keriput membantu saya memutar anak kunci. Seorang laki-laki tua berkulit putih, sambil menggumamkan kata-kata yang tidak saya mengerti, menggerak-gerakan anak kunci ke kanan dan ke kiri, lalu memutarnya … ada bunyi klik … didorong … dan pintu pun terbuka. Saya seperti loncat masuk ke dalam memburu udara hangat. Setelah cukup udara hangat masuk ke mulut maka cukup juga oksigen masuk kedalam otak, saya baru sadar bahwa saya belum mengucapkan terima kasih kepada laki-laki tua tadi. Saya membuka pintu itu lagi, menengok ke kanan dan ke kiri, tapi laki-laki itu tidak kelihatan lagi. Aneh … dengan umur setua itu, tidak mungkin secepat itu dia mencapai ujung blok dan berbelok. Mungkinkah dia malaikat yang diutus Tuhan untuk menolong saya? Tapi ah … itu kan cerita orang yang pulang dari Mekah, bukan cerita dari orang yang pulang dari Belanda. Siapapun dia … saya akan berterima kasih nanti malam … lewat Tuhan.

No comments:

Post a Comment

Jangan beriklan di sini!