Saturday, May 10, 2008

Mingkem Kucing Kami


Mobil baru berhenti di garasi, dan saya baru turun dari mobil, sambutan pertama untuk saya adalah satu pertanyaan dari anak bungsu saya, Wulan.

“Ayah … Ayah … boleh ‘kan Wulan memelihara kucing di rumah ?”

“Boleh …boleh … tapi ada syaratnya.”

“Apa tuh syaratnya ?”

“Kucing itu harus Wulan yang beri makan, eek dan kencingnya harus Wulan yang membersihkan, tempat tidurnya harus Wulan yang membersihkan. Semuanya tiap hari. Lalu, setiap hari Jumat kucing itu harus Wulan mandikan.”

“Aaah … tapi itu ‘kan bisa dikerjakan sama Mbok Nasem ?”

“Enak saja … Mbok Nasem sudah sangat sibuk mengurus Wulan sama Mbak Puspa. Mau disuruh mengurus kucing juga ? Bisa-bisa dia pulang kampung dan tidak kembali lagi.”

“Tapi Mbok Nasem juga senang sama kucing ini kok. Pasti dia tidak keberatan kalau mengurus kucing ini untuk Wulan. Malah Mbok Nasem sudah memberinya nama. Namanya Mingkem … Ayah. Bagus ‘kan?”

“Mingkem ? Kenapa dikasih nama Mingkem?”

“Tidak tahu … tapi kedengarannya bagus. Sudah seminggu kucing ini datang terus ke rumah kita. Kalau belum dikasih makan dia terus saja mengeong di depan pintu dapur kita. Suaranya keras sekali. Terus kata Mbok Nasem … mingkem kamu … mingkem kamu.”

“Oh itu sih bukan nama … tapi baiklah … kamu boleh pelihara Mingkem di rumah. Tapi kamu harus membantu Mbok Nasem supaya dia tidak terlalu repot. Tapi, ngomong-ngomong, apakah kucingnya mau kalau dikasih nama Mingkem? Maksud Ayah, mungkin dia sudah punya nama sendiri.”

“Eeeeh … Ayah saja yang tanya deh … Wulan tidak bisa bahasa kucing.”

“Mungkin kucing ini sudah ada yang punya.”

“Kalau sudah ada yang punya biasanya kucingnya memakai pita seperti kucing punya Tante Hutabarat. Wulan juga mau cari pita untuk Mingkem.”

Kejadian pemberian nama Mingkem pada kucing itu membuat saya banyak berpikir malam itu. Nama yang diberikan orang tua pada anaknya biasanya mengandung arti doa atau harapan. Sekarang, dalam kasus kucing ini, nama yang diberikan mengandung arti suruhan … stempel bertuliskan perintah … atau cap yang mengingatkan pada sifat jelek si penerima nama. Suatu penciptaan stigma.

<>

<>

Dua bulan telah berlalu. Mobil baru berhenti di garasi, dan saya baru turun dari mobil, sambutan pertama untuk saya adalah teriakan dari Wulan.

“Ayah … Mingkem sudah melahirkan. Di bawah tangga. Anaknya tiga. Lucu-lucu deh … Ayah.”

“Seingat Ayah … Mingkem tidak punya suami.”

Ada dong. Suaminya itu bernama si Brewok. Mbok Nasem suka melihat mereka jalan bersama. Tapi kata Mbok Nasem si Brewok tidak boleh masuk rumah, habis tampangnya jelek dan badannya kotor.”

“Paling tidak Wulan harus tanya pada si Brewok apakah dia sudah punya nama untuk anaknya.”

“Eh Ayah ada-ada saja, masa kita harus tanya sama si Brewok soal nama. Ayah saja yang bicara sama si Brewok. Wulan dan Mbak Puspa sih sudah memberi nama untuk tiga anak kucing itu. Yang pertama Kum-kum, kedua Kam-kam, dan ketiga Kim-kim.”

“Membedakannya bagaimana?”

“Kim-kim itu punggungnya putih. Kam-kam dan Kum-kum punggungnya belang.”

“Lantas, membedakan Kam-kamdan Kum-kum bagaimana?”

“Kum-kum itu hidungnya hitam seperti punya kumis … seperti kumis Pak Satpam he … he … he.”

Dalam beberapa bulan topik pembicaraan di rumah selalu berkisar tentang tingkah polah Mingkem dan anak-anaknya. Perkembangan kebisaannya selalu diamati dan didiskusikan pada waktu acara makan bersama. Rumah terasa lebih hidup setelah Mingkem dan anak-anaknya hadir di rumah.

<>

Satu bulan lagi berlalu. Mobil baru berhenti di garasi, dan saya baru turun dari mobil, sambutan pertama untuk saya adalah teriakan dari Wulan. Saya amati hal ini sudah menjadi pola tetap dalam beberapa bulan ini.

“Ayah … anak-anak si Mingkem ‘kan kurus-kurus. Kata Tante Hutabarat mereka banyak kutunya dan ada cacing di perutnya. Kita harus beli bedak kucing dan obat cacing … Ayah. Di Plaza ada tokonya. Ayah belikan … ya? Ayah juga ‘kan sayang sama anak-anak si Mingkem.”

“Oke … oke … tapi Ayah mau simpan dulu tas … minum teh … lalu mandi … baru Ayah akan pergi ke Plaza.”

“Hore … kita akan ke Plaza.”

“Rasanya Ayah tidak bilang mau mengajak kamu ke Plaza.”

“Kata Tante Hutabarat, si Mingkem harus diberi makanan bergizi, supaya sehat dan susunya banyak. Jadi anak-anaknya akan banyak minum susunya. Lama-lama mereka akan jadi gemuk. Di toko itu pasti ada makanan kucing juga ‘kan?”


Di sebuah pet shop di Plaza. “Wulan … Puspa … kalian lihat-lihat anak kucing di kandang sana. Ayah mau cari bedak dan makanan kucing di sebelah sini… oke? Habis dari sini nanti kita makan di McDonald.”

“Horeee … kita akan makan di McDonald.” Anak-anak sebenarnya baru makan di rumah, tapi ajakan untuk makan lagi tetap membuat mereka gembira. Kadang-kadang hal seperti ini membuat saya ragu pada the law of diminishing marginal return. Tingkat kegembiraan mereka ketika makan yang kedua, sama saja dengan waktu makan yang pertama.

<>

Dalam mobil, sepulang dari Plaza. Saya menyetir mobil, anak-anak tertidur di kursi belakang. Saya bergumam sendiri.

“Wulan … Puspa … kita sudah kenyang makan. Kita juga sudah punya makanan untuk kucing. Ayah akan berusaha supaya kalian tetap begitu.”

Bintaro, 25 Juli 2006

No comments:

Post a Comment

Jangan beriklan di sini!