Tuesday, May 13, 2008

Ada Tempat di Masyarakat bagi Mereka yang Terhambat

Dalam dua bulan terakhir saya beberapa kali lewat di jalan raya lama JakartaBogor. Di antara simpangan ke Cijantung dan simpangan ke Ciracas, ada simpangan kekiri. Jalannya kecil saja. Disitu saya melihat seorang mat cepek laki-laki mengatur arus mobil yang masuk dan ke luar dari jalan kecil tersebut. Yang dimaksud mat cepek adalah orang swasta yang berinisiatif mengatur lalu lintas di simpangan tanpa lampu lalu-lintas, agar semua kendaraan mempunyai kesempatan untuk lewat tanpa harus menunggu terlalu lama.

Yang membuat saya tertarik adalah kondisi orang tersebut yang cacat. Kaki dari lutut ke bawah, tidak tumbuh secara sempurna. Di ujung kakinya masih terlihat beberapa jarinya menyembul. Mungkin dia korban thaledomit, folio atau yang lain. Sebetulnya dengan tinggi badan dia yang sama dengan anak-anak berumur 10 tahun, orang itu sulit terlihat oleh pengendara mobil karena penglihatan pengendara mobil terhalang dashboard atau kap mesin (kalau mobilnya sedan). Dengan demikian, mat cepek ini mempunyai potensi lebih tinggi untuk tertabrak.

Saya beberapa kali melihat mobil berhenti lalu ada orang turun memberi laki-laki itu sejumlah uang, walaupun mobil itu sebenarnya tidak terlalu dibantu olehnya.

Penemuan ini menambah penemuan-penemuan saya sebelumnya, berkenaan dengan kasus sejenis. Di Jl. Tendean, Jakarta, tepatnya di tempat parkir Sekolah Tarakanita, saya suka melihat tukang parkir yang hanya mempunyai satu tangan. Area itu selalu ramai sewaktu anak-anak sekolah baru datang, dan sewaktu mereka mau pulang. Sekolah ini memang cukup diminati oleh warga kaya di Ibukota untuk menyekolahkan anaknya, buktinya banyak mobil yang datang mengantar dan menjemput anak sekolah. Padahal lahan parkir bisa dikatakan tidak ada, dan yang selama ini banyak dipakai untuk parkir adalah area milik jalan. Jadi sebenarnya agak sulit menemukan ruang untuk parkir. Oleh karena itulah peran tukang parkir cukup penting, yaitu untuk mengatur letak mobil agar pemakaian lahan seefisien mungkin, dan membantu agar pengendara mobil dapat masuk dan keluar dengan mudah.

Di satu vetshop sekitar McDonald Kemang, juga ada tukang parkir bertangan satu. Lahan parkir disini memang sempit. Mungkin hanya cukup untuk tiga atau empat mobil. Peranan tukang parkir disini antara lain adalah untuk pasang badan agar arus mobil dari arah McDonald bisa ditahan, sedemikian sehingga mobil yang mau belanja di vetshop dapat masuk dan keluar dari lahan parkir dengan mudah.

Saya jadi mempunyai kesimpulan awal bahwa masyarakat kita sebenarnya cukup bersahabat terhadap orang cacat. Terbukti beberapa orang cacat bisa mencari nafkah di jalanan. Dalam masyarakat yang tidak bersahabat, saya bayangkan kedudukan tiga orang cacat yang saya sebutkan tadi sudah direbut oleh orang beranggota badan lengkap. Masih banyak di negara kita orang yang beranggota badan lengkap, yang tidak mempunyai pekerjaan. Mereka bisa saja mengusir orang cacat itu dan lalu merebut pekerjaannya. Tapi ternyata tidak begitu.

Di satu bagian di Jakarta mungkin berlaku ”survival of the physical fittest”. Di bagian lain orang cacat bisa survive dengan caranya sendiri.

Saya pernah melihat pegawai Kentucky Fried Chicken yang pincang kakinya. Dia tidak melayani pembeli memang. Mungkin dia bekerja di dapur. Saya cuma melihatnya berjalan di antara meja-meja tempat pembeli sedang makan.

Mungkin juga ada perusahaan lain yang punya kebijakan untuk menerima orang cacat dalam satu kuota tertentu. Mungkin cuma saya saja yang belum melihatnya. Di Dunkin Donut misalnya, yang saya lihat hanya pelayan wanita dengan postur tubuh sempurna seperti pramugari. Di belakang rak-rak berisi donat mungkin ada orang cacat sedang bekerja.

<>

Saat ini perusahaan-perusahaan yang sudah maju, sudah biasa mendeskripsikan kebutuhan kompetensi jabatan. Berdasarkan kebutuhan kompetensi jabatan ini, lalu direkrut calon pegawai. Kalau kondisi fisik tidak menghalangi kompetensi yang diperlukan, kenapa harus menolak orang cacat?

Atau bisa juga dirancang beberapa jabatan yang tidak memerlukan kondisi fisik sempurna, demi untuk memberi kuota pada saudara-saudara kita yang cacat fisik. Ada satu perusahaan di Indonesia yang mayoritas karyawannya adalah orang cacat. Beberapa waktu yang lalu pengusahanya mendapat penghargaan internasional atas usahanya tersebut.

<>

Seorang profesor ahli agribisnis yang tinggal di Bogor, pernah menggerutu di depan mahasiswanya. Dia berkali-kali melihat orang beranggota badan sempurna menuntun orang buta, atau menggendong orang lumpuh, dan mereka meminta-minta sedekah di jalan. Dia bilang mengapa orang-orang yang beranggota badan lengkap tersebut tidak bekerja saja dan hasilnya dapat dipakai untuk menafkahi temannya yang cacat itu. Sebagai seorang ahli agribisnis rupanya dia tidak bisa menerima kalau seorang penganggur beralasan bahwa ”tidak ada lowongan kerja bagi dia”. Mungkin bagi pak profesor, tanah air kita mempunyai banyak lahan yang menunggu untuk diolah dan diusahakan, yaitu usaha dalam bidang agribisnis tepatnya. Mereka harus membuka lowongan kerja sendiri, bukan menunggu lowongan kerja datang dari orang lain.

Masih di Bogor, saya pernah melihat ketika lalu lintas sedang macet di sekitar Gunung Mas, ada orang cacat pada keempat anggota badannya sedang meminta-minta. Kalu dia bergerak, sekilas terlihat seperti laba-laba raksasa sedang berjalan dari mobil ke mobil. Surprisenya, di hari yang lain sekitar lima pengemis dengan cacat yang persis sama, berkerumun di lampu merah Gadog, menunggu belas kasihan dari pengendara mobil yang akan keluar dari jalan tol Jagorawi. Saya harus merasa surprise karena kok bisa begitu banyak manusia laba-laba yang tinggal di antara Gadog dan Puncak. Saya asumsikan mereka bukan orang dari jauh yang diangkut oleh semacam koordinator (sekaligus kolektor manusia laba-laba) untuk melakukan pekerjaan mengemis di antara Gadog – Puncak.

No comments:

Post a Comment

Jangan beriklan di sini!