Saturday, May 10, 2008

Cincin si Cecep


Ketika kami menyeberang Jl. Melawai, secara reflek tangan kanan saya memegang lengan kiri Susan. Sementara itu, sambil melangkah, mata mengawasi mobil-mobil yang datang dari dari arah kiri. Langkah saya atur agar kami tidak ditabrak mobil. Susan berusaha melepaskan pegangan saya, tapi tangan saya memegangnya makin erat.
Setelah sampai di seberang, baru dia saya lepaskan. Dua tangan saya angkat, telapak menghadap dia, seakan berjanji bahwa saya tidak memegang dia lagi. “Sorry, saya cuma melakukan tugas alamiah laki-laki … yaitu harus melindungi wanita. Saya cuma ingin kamu selamat ketika menyeberang jalan itu. Apakah laki-laki tidak berbuat seperti itu lagi di Belanda?” saya menyindir.
“Oke … tidak apa-apa kalau begitu. Di Belanda … hanya laki-laki yang saya sukai yang saya biarkan memegang lengan saya.” jawab Susan.
“Saya mengerti maksudmu. Apakah itu berarti kamu tidak menyukai saya?” sambut saya sambil tersenyum menggoda.
“Bukan begitu … maksud saya … aaah … please hentikan.”
“Tapi bisa dikatakan, ketika menyeberang tadi sebenarnya kamulah yang melindungi saya.”
“Bagaimana bisa?”
“Mobil-mobil di Jakarta hanya mau berhenti dan memberi jalan kalau yang menyeberang gadis yang cantik. Pasti kamu perhatikan tadi, semua mobil berhenti memberi jalan pada kita. Itu bukan karena saya tapi karena kamu.”
“Gombal …”
<>
Susan dikirim oleh Kantor Pusat di Belanda. Memang secara bergiliran, staff administrasi di Belanda datang ke Indonesia. Selalu ada saja yang mereka bisa kerjakan di Jakarta, memeriksa ini atau audit itu. Padahal itu semua sebenarnya dapat diselesaikan lewat email, tanpa harus datang sendiri dari Belanda ke Jakarta. Kesannya, mereka selalu mempunyai anggaran yang harus dihabiskan.
Ada yang memberi argumen bahwa staff di Belanda sekali-sekali perlu bertemu dengan mitranya di Jakarta, agar terjadi komunikasi yang baik. Oke … tidak ada masalah. Lagi pula, merekalah yang menjadi boss.
Tahun ini giliran seorang gadis berkacamata yang datang. Namanya Susan. Postur tubuhnya tidak setinggi orang Belanda yang lain. Jika dilihat dari belakang, orang akan menyangka dia gadis Indonesia.
Pada tahun-tahun pertama saya bekerja di kantor Perwakilan Jakarta ini, kalau ada staff Kantor Pusat datang ke Jakarta, selalu saya yang menghadapi. Tapi belakangan, saya biarkan staff yang lain berhubungan langsung dengan tamu Belanda. Saya tidak mengkhawatirkan lagi kesenjangan bahasa, justru ini kesempatan untuk mempraktekan Bahasa Inggeris bagi staff yang lain, toh materi yang diperiksa berkisar dari itu ke itu juga. Semua sudah tahu apa yang harus dilakukan. Bahkan saya akhirnya menjadi bosan sendiri.
Setelah beberapa hari di Jakarta, pagi-pagi Susan datang pada saya dan berkata: “Anang … saya punya sesuatu yang ingin saya bicarakan dengan kamu. Sebaiknya kita lakukan di luar kantor. Bagaimana kalau nanti kita makan siang sama-sama? Saya yang traktir.” Dalam hati saya bertanya-tanya, mengapa tidak dibicarakan di kamar saya saja seperti biasanya kalau dia sedang ada persoalan mengenai pekerjaan.
“Boleh juga … terutama karena kamu yang traktir,” saya bercanda.
“Saya harus menuntaskan ini sebelum saya pulang ke Belanda,” sambutnya dingin.
<>
Kami makan di restoran yang dia pilih di Blok M, setelah saya mengajukan beberapa pilihan restoran. Setelah makanan terhidang, baru Susan membuka pembicaraan yang menjelaskan kenapa dia mengajak saya makan siang bersama.
“Anang, kamu ‘kan muslim. Saya ingin tahu apakah benar laki-laki muslim boleh kawin dengan empat perempuan.”
Saya tidak tahu kemana arah pertanyaannya setelah yang satu ini. Tapi roman mukanya serius seperti biasa, tidak ada tanda ingin bercanda. Bola mata di balik kaca matanya terlihat membesar. Pasti dia sangat mengharapkan jawaban yang serius pula. Jadi saya harus menjawabnya hati-hati. “Poligami adalah pilihan, bukan kewajiban. Kalau tidak ada alasan yang kuat, kami tidak akan melakukannya. Dari 70 orang teman kuliah saya, hanya satu yang melakukan poligami. Mungkin itu bisa dipakai sebagai ancer-ancer angka statistik. Mengapa bertanya? Kamu sedang jatuh cinta pada seorang laki-laki muslim?” saya menggoda dia.
“Biasanya apa alasan laki-laki muslim melakukan poligami?”
“Mungkin karena kebutuhan seks. Mungkin karena keinginan mendapat keturunan. Atau, mungkin karena ketidak-cocokan inteljensia.”
“Bagaimana saya bisa tahu bahwa seorang laki-laki cenderung untuk poligami?”
“Saya tidak bisa memberi nasihat langsung untuk masalah yang itu. Kamu sendiri yang harus mencari dan menemukannya. Oleh karena itu komunikasi sangat penting. Kalau pacarmu punya keinginan seks yang kuat, kamu harus periksa diri kamu, apakah bisa melayaninya sampai dia berumur 60 tahun. Kalau dia sangat ingin mendapat anak, kamu harus periksa dirimu, apakah kamu subur. Kalau pacarmu karirnya bagus dan berpotensi menjadi CEO perusahaan besar, kamu harus periksa apakah kamu bisa mengembangkan diri sehingga selalu bisa tahu apa yang dia bicarakan nanti.”
“Ya … itu masuk akal.”
“Siapa sebenarnya laki-laki yang beruntung itu? Apakah saya kenal dia?” saya goda lagi Susan. Tapi dia tidak terpancing, dia tetap yang memimpin percakapan.
“Mungkin kamu bisa menjelaskan Anang, saya lihat ada beberapa laki-laki Indonesia yang sudah kawin tapi tidak memakai cincin. Kamu juga tidak memakai cincin, padahal kamu sudah kawin. Mengapa?”
“Saya sebenarnya berasal dari lingkungan yang biasa memakai cincin kawin. Tapi beberapa bulan yang lalu rumah saya dimasuki pencuri yang mempunyai spesialisasi mencuri perhiasan. Cincin kawin saya termasuk yang dia curi. Setiap kali saya mau membeli ganti cincin yang hilang itu, saya teringat pada kebiasaan tetangga saya memberi pita di leher kucing-kucing miliknya. Pita itu menjadi tanda bahwa kucing itu sudah ada yang punya. Sampai sekarang saya belum beli gantinya.”
“Saya mengerti maksudmu.”
“Ada juga sebagian orang yang tidak biasa memakai perhiasan, termasuk cincin kawin, karena alasan finansial. Tapi ada juga yang berpendapat bahwa laki-laki sebaiknya tidak memakai perhiasan emas. Yang terakhir ini biasanya memakai cincin dari bahan bukan emas.”
“Anang, bisa dikatakan kamu adalah staff paling senior di Kantor Perwakilan Jakarta. Kamu pasti tahu semua orang-orang di kantor. Pertanyaan saya, apakah Cecep sudah kawin.”
“Sekarang kamu baru buka kartumu. Ternyata kamu naksir Cecep ... he … he ..he.”
“Please hentikan itu …”
“Oke … Cecep sudah menikah. Positif. Saya sendiri datang ke resepsinya, sekitar tiga bulan yang lalu.”
“Tapi mengapa Frida dan Tatiek bilang Cecep belum menikah. Kalau memang Cecep menikah tiga bulan yang lalu, artinya dia sudah bekerja di kantor Perwakilan Jakarta. Frida dan Tatiek sudah menjadi teman Cecep satu kantor. Bagaimana bisa mereka tidak diundang ke resepsi?”
“Saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Mungkin Cecep mempunyai alasan, tapi dia tidak pernah bilang pada saya. Dia juga punya sifat pemalu, tidak mau menjadi pusat perhatian.”
“Anang … kamu tidak bermaksud menghalangi saya berhubungan dengan Cecep, ‘kan?” nadanya meninggi.
“Ooh Susan … kamu tidak benar-benar punya pikiran jelek seperti itu pada saya ‘kan? Kalau Cecep masih bujangan, dengan senang hati saya akan jadi mak-comblang. Saya yakin kalian bisa mempunyai anak yang ganteng, cantik dan pintar. Tapi karena Cecep sudah kawin, saya justru ingin melindungi kamu. Kalau Cecep mendekati kamu, saya harus memperingatkan kamu. Bukankah kamu juga tidak setuju poligami. Lagi pula, tidak banyak kisah sukses dari praktek poligami, apalagi yang melibatkan orang satu kantor. Apakah Cecep mendekati kamu?”
“Tidak secara khusus sih. Tapi saya bisa merasakannya.”
<>
Pecakapan dengan Susan itu, mengingatkan saya pada percakapan saya dengan Tatiek sekitar tiga bulan yang lalu. Setelah saya menyebut bahwa Cecep baru kawin, Tatiek memperlihatkan roman muka tidak suka pada saya. Percakapan tersebut berakhir dengan ucapan Tatiek bahwa saya berusaha menghalangi hubungan Tatiek dengan Cecep.
Ketika Cecep baru bergabung di kantor Perwakilan Jakarta, dia langsung menjadi incaran para gadis lajang di kantor. Walaupun Cecep tidak agresif mendekati mereka, tapi apa-apa yang dia punyai sudah memenuhi kriteria yang ditetapkan para gadis. Badannya ramping, sehingga pakaiannya bisa rapih dan pantas. Kulitnya bersih dan berwarna terang seperti umumnya priyayi di Jawa Barat. Kalau berbicara nadanya enak sehingga orang tidak sadar bahwa dia sedang menyuruh. Pendidikannya sarjana sehingga dianggap mempunyai masa depan yang baik di perusahaan. Satu kebiasaan baik dari dia, yang bisa berakibat buruk karena berpotensi membuat salah paham, yaitu tidak bisa menolak permintaan tolong dari orang lain.
<>
Tanpa kelihatan oleh Susan, sore itu saya memanggil Cecep ke kamar saya.
“Cep, saya ingin menceritakan sesuatu. Tapi jangan menjadi besar kepala setelah mendengarnya.” Lalu saya ceritakan percakapan saya dengan Susan pada waktu makan siang, dan percakapan dengan Tatiek tiga bulan yang lalu. “Kalau boleh saya usul, pertama, janganlah kamu melakukan sesuatu yang bisa ditafsirkan para gadis sebagai tanda bahwa kamu naksir sama dia. Kedua, jangan menyembunyikan fakta bahwa kamu sudah kawin. Jangan memperpanjang daftar gadis yang kamu kecewakan.”
“Soal Susan … Pak Anang … sebenarnya itu gara-gara Pak Wilson dan Pak Garin. Setiap pagi ada saja yang mereka katakan pada Susan, yang dapat membuat Susan mengira saya menaruh hati pada dia. Misalnya, mereka bilang ke Susan bahwa saya ingin mengajak Susan nonton. Lain kali, mereka bilang saya ingin mengajak dia ke Kebun Raya. Paling sedikit, mereka bilang ada titip salam dari saya untuk Susan.”
“Yaa… mungkin itu rejeki kamu Cep … disukai gadis-gadis. Tapi kalau bisa, kamu pakai deh cincin kawinmu. Atau, selipkan foto pernikahanmu di antara meja dan kacanya. Kayaknya kita semua harus bikin acara dengan Susan sebelum dia pulang, untuk menghibur kekecewaan dia.”
“Saya usul kita pergi ke Kebun Raya saja Pak. Kalau boleh, saya akan membawa beberapa teman kuliah saya yang masih bujangan, siapa tahu ada yang cocok dengan Susan, atau paling tidak cocok dengan Tatiek ‘lah.”
“Kok kedengarannya kamu seperti mengatakan bahwa lebih sulit mencari laki-laki yang cocok untuk Susan.”
“Menurut pengamatan saya dia tipe wanita yang cenderung untuk memilih laki-laki, mengambil inisiatif. Itu bukan tipe untuk saya. Tapi saya yakin ada laki-laki yang dapat menjadi pasangan yang serasi untuk Susan.”

(Bambang Setiawan, Bintaro Jaya V, Agustus 2006)

No comments:

Post a Comment

Jangan beriklan di sini!