Thursday, May 29, 2008

Yang Ditanam Harus Disiram


“Harjono, ini Henk. Dan Henk, ini Harjono, dia baru mobilisasi hari ini. Henk adalah project economist kita. Dan Harjono akan membantu Henk,” kata Wim ketika kami sudah sampai di kamar kerja Henk. “Saya harap kalian berdua dapat bekerja sama sebaik-baiknya.” Saya dan Henk bersalaman. Tangannya terasa basah. Bagi orang Belanda, udara pagi di Jakarta itu mungkin sudah terasa panas.

“Oke … secara garis besar tugas kalian sudah tertulis dalam terms of reference dan technical proposal. Pembagian tugas di antara kalian, saya serahkan pada kalian berdua. Henk, kamu sudah berkali-kali bekerja sama dengan saya, jadi kamu pasti sudah tahu apa yang saya inginkan. Saya tidak akan banyak mengawasi pekerjaan kamu, saya sendiri akan sibuk dengan tugas saya sebagai team leader. Saya harap kamu bisa memanfaatkan waktu Jon semaksimal mungkin. Latihlah dia sebaik-baiknya sehingga dia mampu mengerjakan tugas kamu. Dengan demikian, kalau kamu harus pulang lebih cepat ke Belanda seperti yang kamu bilang kemarin, pastikan tidak akan ada orang di Jakarta yang merasa kehilangan kamu.”

Setelah Wim meninggalkan kamar kerja Henk, saya duduk di depan meja dia, lalu mulai berbasa-basi. Pertanyaan standar pemecah es saya ajukan, seperti “kapan dari Belanda”, “apakah ini kali pertama datang ke Jakarta”, “sudah lama kerja di perusahaan ini” dan sebagainya.

“Saya sudah beberapa kali datang ke Indonesia. Saya sudah mengunjungi Palembang, Pemalang, dan Bandar Lampung. Saya ini layaknya seperti serdadu bayaran, kalau kantor pusat bilang saya diperlukan di Jakarta, saya pergi ke Jakarta. Kalau saya disuruh ke Laos, saya pergi ke Laos,” kata Henk.

“Saya ingin sekali seperti itu, bisa melihat tempat-tempat di dunia.”

“Bagaimana saya harus memanggilmu? Apakah Jon … seperti pada John?” Henk mengubah pokok pembicaraan.

“Ya … panggil saya Jon saja, seperti pada John.Teman-teman ekspatriat saya biasa memanggil saya begitu. Lebih mudah.”

“Mau minum kopi?”

“Kopi boleh. Kopi tubruk, hitam dan manis.”

Henk keluar kamar, menyuruh seseorang membuat kopi untuk saya, dan dia menambah kopi pada cangkirnya sendiri.

“Kamu sudah berkeluarga Jon?” Henk bertanya sekembalinya dari dapur.

“Belum. Kenapa? Kamu punya calon untuk saya.” Arah pembicaraan Henk rasanya makin jauh dari pokok pertama, entah menuju kemana.

“Bukan … bukan itu maksud saya. Tadi kamu membayangkan bahwa bepergian ke tempat-tempat di dunia, dalam rangka pekerjaan, itu menyenangkan. Kalau kamu belum berkeluarga, kamu tidak akan bisa membayangkan masalah seperti yang saya alami sekarang.”

“Oh ..mudah-mudahan kamu bukan bermaksud melarang saya kawin,” sambut saya bercanda, sambil menerima secangkir kopi panas dari seorang bujang kantor.

“Sebagai project economist, saya selalu mendapat penugasan jangka pendek. Paling lama enam bulan di tiap proyek. Menurut peraturan perusahaan, orang dengan penugasan pendek tidak berhak mendapat rumah. Hanya satu kamar kecil di mes. Paling untung saya mendapat kamar hotel. Dengan demikian saya tidak pernah bisa membawa isteri saya. Isteri mana yang mau tinggal di hotel berbulan-bulan. Lagi pula tunjangan harian saya hanya cukup untuk satu orang.”

“Jadi kamu merasa bersalah …,” kata saya sambil menyeruput kopi panas.

“Kalau saya mengaku bersalah, dan lalu isteri saya mengerti, tidak ada persoalan. Sekarang isteri saya mau bercerai dengan alasan saya jarang di rumah. Bayangkan, walaupun penugasan dalam tiap proyek hanya dua atau tiga bulan saja misalnya, tapi kalau dalam setahun ada empat proyek yang berurutan maka praktis saya ada dirumah sendiri hanya sekitar satu bulan. Tahun lalu hanya 20 hari. Kalau saya perhatikan, banyak staff dengan profesi seperti saya yang rumah-tangganya gagal.”

“Apakah kamu yakin profesi yang lain tidak punya masalah yang sama?”

“Wim adalah seorang akhli pertanian. Dia harus ada di proyek selama proyek itu berjalan. Dengan demikian dia diberi rumah sehingga bisa membawa isteri. Bahkan anaknya pun dibawa dan disekolahkan disini atas tanggungan perusahaan. Dia bisa tenang bekerja dan isterinya cukup bahagia.”

Hening sejenak. Saya punya kesempatan untuk menyeruput kopi lagi.

“Kamu merokok Jon?”

“Tidak”

“Oke kamu bekerja disini saja, satu kamar dengan saya. Kamar ini cukup besar untuk kita berdua. Jadi kamu bisa membaca buku-buku saya kapan saja. Dan komunikasi kita pun akan lebih efektif.”

Hari pertama saya dihiasi dengan cerita mengenai persoalan pribadi mitra kerja. Tapi ternyata hal itu tidak mengganggu kinerja kami pada hari-hari selanjutnya. Kami merupakan bagian dari tim yang mengerjakan studi evaluasi satu proyek transmigrasi yang dilaksanakan di atas tanah bekas rawa pasang-surut. Sebenarnya, dengan satu kali melihat warna daun dari tanaman yang tumbuh halaman rumah transmigran, seorang akhli ilmu tanah atau akhli agronomi akan tahu bahwa pencucian zat beracun peninggalan rawa pasang-surut, berlangsung tidak sempurna. Petani akan menderita dalam kemiskinan kalau semua tanamannya kena racun, karena panennya akan jelek atau malah gagal. Penelitian yang seksama perlu dilakukan untuk mencari sumber kesalahan.

Akhli teknik sipil dalam tim kami akan mengadakan koreksi atas infrastruktur yang ada. Kadang-kadang kesalahan hanya terjadi pada pengoperasian pintu air.

Akhli agro-ekonomi akan membuat beberapa simulasi pola tanam. Pola tanam yang menghasilkan pendapatan terbesar pada petani, akan diusulkan untuk diterapkan. Sedangkan orang seperti Henk akan menganalisa apakah peningkatan pendapatan petani secara total, setimpal dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk perbaikan infrastruktur dan lain-lain itu.

Perusahaan konsultan yang mengirim Henk banyak mengerjakan proyek seperti ini di banyak negara berkembang. Karena ada ketentuan dari pemerintah Indonesia bahwa konsultan asing harus bermitra dengan konsultan lokal, maka masuklah saya ke dalam tim melalui jalur konsultan lokal.

<>

“Jon, saya akan pulang ke Belanda hari Jumat yang akan datang,” kata Henk suatu sore.

“Cepat sekali. Menurut jadwal, waktu kamu seharusnya masih ada dua bulan lagi.”

“Yaaa, kamu sudah tahu persoalan rumah tangga saya. Ternyata makin memburuk. Kami bicara di telepon tadi malam. Mudah-mudahan kepulangan saya ke Belanda akan menyelamatkan perkawinan saya. Wim sudah setuju saya pulang lebih cepat. Saya yakin kamu sudah tahu apa yang harus kamu kerjakan selama saya tidak ada. Kalau masih ada yang kamu belum mengerti, kamu masih punya waktu tiga hari untuk bertanya. Kamu harus bisa melanjutkan pekerjaan kita ini sendirian. ”

“Oke, saya akan berusaha sebaik saya bisa.”

“Menurut saya bahasa Inggeris-mu bagus. Laporanmu juga bagus. Jadi laporanmu bisa langsung menjadi laporan resmi dan final. Mungkin saja Wim ingin membaca dulu, tapi dia juga sangat sibuk.”

Hari Jumat, sekitar pukul 2 sore Henk sudah meninggalkan kantor, pergi menuju bandar udara Cengkareng. Pukul 3, Jan, seorang akhli teknik sipil, masuk ke kamar saya sambil tersenyum-senyum. “Henk berusaha untuk menyelamatkan perahu yang mau tenggelam…he…he …he,” katanya.

Jan kelihatannya sudah tahu apa yang terjadi pada Henk. Dia sekarang sedang berusaha mencari teman untuk membicarakan gosip tentang Henk. Dan sayalah orang yang sedang diburu oleh dia. Kelihatannya dia sudah tahu cukup banyak, jadi saya bisa meladeninya tanpa harus merasa bersalah pada Henk. Di tangan Jan ada secangkir kopi masih panas dan masih penuh, jelas dia berniat untuk berbicara lama dengan saya.

“Kalau kamu jadi dia, apa yang akan kamu lakukan? Pulang ke Belanda juga kan?” pancing saya.

“Tapi itu tidak akan terjadi pada saya. Isteri saya ada disini … he … he … he.” Jan duduk di kursi, cangkirnya diletakkan di atas meja. Lalu dia mengeluarkan rokok dan menyulutnya. Jan sebenarnya jarang ke kamar saya. Biasanya Henk yang mendatangi Jan di kamar Jan. Henk tidak akan membiarkan ada orang lain datang dan merokok di kamarnya.

Ada dua hal yang membuat hal ini tidak akan terjadi pada kamu. Pertama kamu akhli teknik sipil, sehingga penugasanmu selalu jangka panjang. Kamu mendapat rumah dari perusahaan sehingga isterimu bisa datang menemani kamu. Kedua, isterimu orang Palembang, jadi dia pasti lebih cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan Jakarta.”

“Jon, kamu sudah terpengaruh oleh perkataan Henk. Dia berusaha menyembunyikan kelemahannya. Menurut saya lama penugasan tidak banyak pengaruhnya terhadap keutuhan rumah-tangga. Persoalan dia timbul oleh karena dia tidak bisa melakukan manajemen yang memadai pada rumah tangganya.”

“Coba sebutkan contoh project economist lain yang rumah tangganya utuh? Kalau rata-rata project economist keluarganya utuh, artinya tidak ada pengaruh dari lama penugasan pada keutuhan rumah tangga.”

“Saya tidak punya contoh yang seperti itu, tapi saya punya contoh lain. Akhli ilmu tanah kita, Joop, dia sering mendapat penugasan panjang tapi isterinya tidak pernah dibawa. Dia cuma pulang ke Belanda setiap Natal. Tapi rumah tangganya tetap utuh.”

“Mengapa isterinya tidak mau ikut? Apakah isterinya bekerja?” tanya saya.

“Isterinya memang bekerja. Tapi Joop bisa menangani isterinya dengan baik.”

“Selama disini kebutuhan Joop bukan hanya makan. Joop mungkin perlu ketemu isterinya sekali setiap minggu. Bagaimana dia mengatasinya?” tanya saya

“Maksud kamu apa, Joop perlu ketemu sekali setiap minggu?”

“Kamu tahulah. Isteri dan suami, apa yang biasa dilakukan.”

“Oh … yang itu. Dia punya teman yang baik disini.”

“Semacam pacar?”

“Dulu dia punya semacam pacar. Tapi hubungan seperti itu biasanya melibatkan emosi. Waktu berpisah keduanya akan bersedih.”

“Kalau temannya yang sekarang … bukan pacar namanya?” tanya saya.

“Yaaa … dengan gadis temannya yang sekarang Joop pergi bersama untuk bergembira. Tapi gadis temannya itu boleh pergi dengan laki-laki lain.”

“Bagaimana dengan isterinya? Pasti dia perlu juga Joop sebagai laki-laki, bukan? Apakah Joop akan berdiam diri kalau isterinya pergi dengan laki-laki lain?”

“Joop dan isterinya adalah pasangan yang sangat lain, Jon. Api mereka sudah padam, mungkin karena minyaknya sudah habis. Mungkin terakhir kali mereka melakukannya 20 tahun yang lalu. Joop disini juga tidak pernah melakukannya, baik itu dengan gadis pacarnya, atau gadis teman biasa. Saya sudah bilang kepada Joop, dari pada pergi meghamburkan uang dengan gadis-gadis yang hanya akan dipandanginya saja, lebih dia membeli majalah Playboy atau Penthouse.”

“Kasus Joop tidak membuktikan apa-apa. Kalau isterinya tidak punya keinginan lagi untuk melakukan hal itu, dia tidak akan keberatan hidup berpisah sampai sebelas bulan setiap tahun. Apakah mereka punya anak?”

“Mereka punya satu anak. Mungkin mereka cukup sering melakukannya ketika mereka masih muda.”

“Atau ini anak adopsi? Apakah anaknya mirip dengan Joop?”

“He … he … he … saya tahu arah pertanyaanmu.”

“Saya lihat Wim tidak punya persoalan rumah tangga. Isterinya, orang Belanda juga, ikut datang ke Jakarta. Waktu kita berpesta di rumah Wim, saya lihat mereka seperti pasangan yang berbahagia. Ini bukti bahwa kalau orang Belanda membawa isterinya ke Jakarta, walaupun mereka tinggal lama disini, mereka akan hidup bahagia.”

“Mudah-mudahan mereka berbahagia selamanya … he … he …he. Sudah berapa lama kamu bekerja disini, Jon? Paling lama dua bulan. Sudah berani membuat kesimpulan rupanya … he… he …he.”

“Tapi kesimpulan saya tidak salah ‘kan?”

“Menurut saya yang paling ideal untuk laki-laki Belanda adalah kawin dengan wanita Indonesia. Seperti saya inilah.”

“Sudah berapa lama kamu menikah dengan orang Palembang itu, Jan? Paling lama enam tahun. Sudah berani membuat kesimpulan bahwa kamu akan bahagia selama-lamanya … he … he … he.”

“Eh itu perkataan saya tadi … kamu tidak boleh pakai … he … he … he,” kata Jan. “Tapi saya punya beberapa contoh laki-laki Belanda bahagia yang lain. Saya akan ambil nama-nama yang kamu kenal. Pieter dulu bercerai dengan isteri Belandanya, karena isterinya main gila dengan laki-laki lain di Belanda selagi Pieter di Indonesia. Lalu Pieter kawin dengan gadis Lampung. Sekarang dia hidup bahagia. Pieter adalah menantu kesayangan mertua, dan orang tua Pieter sangat sayang pada gadis Lampung menantunya itu.”

“Saya pernah ketemu dengan Pieter sekeluarga waktu pesta di rumah Wim.”

“Lalu, Hans tua … dulu lama menduda. Dulu dia ditaksir oleh Siska, si ratu diskotik. Saya tahu Siska bukan gadis idaman Hans. Akhirnya Hans kawin dengan Irah gadis Pacitan. Saya yakin Irah adalah persis seperti gadis idaman Hans.”

“Memangnya seperti apa gadis idaman Hans?” tanya saya.

“Hans perlu gadis yang mengabdi pada suami. Bisa memijat kalau suami sedang lelah. Bisa memasak makanan yang enak. Menjaga pakaian suami agar tetap bersih dan disetrika rapi. Mengurus rumah sehingga nyaman dihuni.”

“Bagaimana Hans mengetahui bahwa Irah memenuhi persyaratan itu?”

“Dulu Irah adalah pegawai di mes. Dia memasak untuk semua tamu, mencuci dan membersihkan mes. Disitulah mereka ketemu.”

“Kalau tidak salah Hans sekarang tidak lagi bekerja. Dia sudah pensiun. Tapi saya sempat berkenalan dengan dia sewaktu pesta di rumah Wim. Hans sedang ada di Indonesia waktu itu.”

“Ya … waktu itu mereka baru kembali dari Pacitan. Kamu menyebutnya mudik. Sekarang mereka sudah kembali lagi ke Belanda, bersama terasi, jengkol, petai, bumbu pecel, kecap, oncom dan lain-lain. Sebenarnya sebagian dari barang-barang itu sudah tersedia di toko-toko di Belanda. Tapi mungkin keluarga Irah ingin memberi oleh-oleh.”

“Apakah kamu mendapatkan gadis idaman yang kamu cari?”

“Ya, Hans, Pieter dan saya mendapat gadis yang kami idamkan. Isteri saya dan isteri Pieter berasal dari golongan sosial-ekonomi yang lebih tinggi dari Irah sebenarnya. Mertua saya malah biasa berbicara bahasa Belanda dengan saya. Tapi pada prinsipnya mereka punya sifat yang sama dengan Irah, ingin membahagiakan suami. Tidak membantah kata-kata suami. Dan kami, kaum laki-laki membalas pengabdian itu dengan kesetiaan, perlindungan materi dan jaminan bahwa tidak akan ada kekerasan dalam rumah tangga, apapun itu bentuknya.”

“Apakah kamu akan memberi saran pada Henk …untuk mengambil gadis Indonesia sebagai isteri? He … he … he …. Oke Jan, sudah waktunya kita pulang. Kita bekerja lagi besok.”

“Gagasan yang bagus. Saya kira Wim juga perlu nasihat yang sama … he … he … he.”

<>

Ada waktunya kami bersantai membicarakan gosip mengenai siapa saja. Tapi pada waktu selebihnya, yang jauh lebih banyak, kami bekerja keras untuk proyek. Setelah kepergian Henk, saya diperbantukan disana-sini dalam proyek yang sama. Tidak ada yang keberatan dengan penambahan waktu saya karena remunerasi untuk pegawai lokal sangat rendah. Dengan demikian saya mendapat tambahan waktu hampir setahun. Ketika Boen datang tiga bulan sebelum proyek ini berakhir, saya masih ada disitu. Boen menggantikan Hans. Dia adalah seorang warga Belanda keturunan Cina, kelahiran Indonesia.

Sekitar dua tahun setelah proyek berakhir, saya makan di Pasaraya. Jan lewat di dekat meja saya. Ketika saya ajak dia untuk berbagi meja, dia mau. Senyum yang dulu selalu menghias wajahnya, kini hilang. Bunyi he he he yang dulu sering terdengar setiap kali dia membicarakan gosip, kini tidak terdengar lagi.

”Henk sudah bercerai. Wim juga bercerai dengan isteri Belandanya. Sekarang dia sering telihat jalan bersama Ismaniar. Pegawai di Departemen PU. Punya gelar MA dari Amerika. Menurut Wim, mereka akan kawin,” Jan berusaha membuat saya up to date.

“Ya … saya masih ingat Ismaniar. Ini di antara kita saja, sebagai sesama laki-laki, Ismaniar itu memang terlihat intelek, tapi dia tidak seksi dan saya yakin dia tidak bisa memasak, memijat atau menyetrika kemeja Wim.”

“Jon, kita harus selalu memperbaharui cara pandang kita. Yang dicari oleh Wim dari seorang wanita, kelihatannya berbeda dengan saya atau laki-laki Belanda lain. Dengan membandingkan bekas isteri Wim dengan Ismaniar, saya mempunyai dugaan bahwa Wim mencari teman hidup yang juga bisa jadi teman mengobrol mengenai topik-topik yang intelek, seperti kebijakan ekonomi, politik, perdagangan internasional dan sejenisnya.”

“Kamu menceritakan Wim yang akan kawin lagi, dengan wajah murung seperti itu. Apakah kamu merasa kecewa?” tanya saya sambil agak bercanda.

“Jon … ternyata apa yang dulu menimpa Henk … kini menimpa saya juga. Saya akan bercerai.”

“Apa? Bukankah dia wanita idamanmu?”

“Tadinya saya menyangka demikian juga.”

“Apa yang terjadi sehingga kamu memutuskan akan bercerai?”

“Ternyata dia itu pemarah berat. Kalau sudah marah dia akan melemparkan benda-benda keras ke arah saya. Atau dia langsung memukul dengan tangannya. Itu bukan situasi rumah yang saya idamkan.”

“Lalu … apakah kamu masih berpikir bahwa sebaiknya laki-laki Belanda kawin dengan wanita Indonesia?” tanya saya.

“Saya belum berubah mengenai yang itu. Saya akan menghubungi Hans, mudah-mudahan Irah mempunyai saudara perempuan.”

Kami berjabat tangan, lalu berpisah.

No comments:

Post a Comment

Jangan beriklan di sini!