Saturday, May 10, 2008

Kim

Hari Senin, sekitar pukul 7. Telepon berdering.

“Bisa bicara dengan Ibu Felicia?”

“Saya sendiri …”

“Saya dari klinik … mau mengabarkan … Kim tidak bisa bertahan. Sekitar pukul 1 tadi malam dia pergi.”

“………,” saya kehilangan kata-kata.

“Ibu bisa ke klinik untuk melihatnya.”

“Ya …. saya akan segera kesana.”

<>

Kemarin sore dia berjalan perlahan menuju pintu dapur. Tubuhnya basah.

“Ya ampun Kim … apa yang terjadi? Kamu jatuh ya?” Saya cepat meraih handuk, lalu melilitkannya di tubuh Kim.

Kim duduk di lantai dekat pintu dapur. Saya bisa melihat benjolan sebesar telor bebek di dadanya, sebelah kanan bagian bawah. Saya jadi ikut duduk di dekatnya. Kuraba benjolan itu … terasa keras. Badannya menggigil, lalu menyenderkan badannya ke badan saya … berusaha menghangatkan badannya.

Tanpa mengerang dia berdiri lalu berjalan masuk ke rumah. Dengan susah payah dia naik ke sofa, dia merebahkan badannya disitu. Air di tubuhnya sudah pindah ke baju, ke celana, ke handuk, ke sofa. Mungkin air sudah mengambil kehangatan dari tubuhnya. Tubuhnya makin dingin. Kutawari dia minuman hangat, dia hanya diam. Mungkin benjolan di dadanya itu yang membuat dia enggan minum. Ya Tuhan … apa yang harus saya lakukan?

“Katakanlah Kim … apa yang terasa?”

Tanganku secara reflek megusap-ngusap benjolan itu ke arah bawah. Pelahan-lahan benjolan mengecil dan menghilang seperti masuk ke rongga perut.

Susah sekali menebak perasaan Kim, dia tidak mengeluh. Ekspresi wajahnya tetap sama. Apakah merasa lebih baik? Lebih buruk? Atau tetap? Tapi badannya makin dingin.

“Oke Kim … saya akan membawamu ke dokter.”

<>

“Suhu badannya sangat dingin. Termometer saya sampai tidak bergerak penunjukannya.”

“Hipotermia?” tanya saya sekenanya. “Tadi ada benjolan sekitar sini dok,” saya menunjuk sambil memberi gambaran dengan telunjuk tentang ukuran benjolan itu. Dokter lalu meraba bekas tempat benjolan itu, sementara tangan yang satunya lagi meraba bagian dada di sebelah yang lain. Dia tampak seperti membandingkan jumlah tulang iga di sebelah kiri dan kanan.

“Kayaknya tulang iganya patah. Saya anjurkan Ibu bawa Kim besok pagi ke rekan dokter senior saya, mungkin harus dibedah. Coba saya konsultasi dulu sama dia.” Dia lalu berusaha menghubungi rekannya itu, tapi mungkin pada hari Minggu dokter memakai nomer telepon yang lain. Hubungan tidak tersambung. Lalu dokter meraba dada Kim lagi.

“Saya foto ronsen dulu ya Bu.” Lalu dia keluar berjalan ke kamar sebelah, menyiapkan sesuatu sekitar 10 menit, lalu kembali.

“Oke Kim … difoto dulu.” Kami semua menuju ke kamar sebelah.

Setelah difoto, dokter memasang alat infus. Lalu dia keluar kamar untuk memproses foto ronsen. Saya mengusap-ngusap badan Kim yang tergolek kembali di meja pemeriksaan, berharap bisa memberi kehangatan pada Kim. Kotoran dari air got sebagian sudah pindah ke tangan saya … biarlah.

“Jangan sakit Kim. Kamu satu-satunya temanku.”

<>

“Ibu Felicia, dengan memperhatikan foto ronsen ini saya cukup yakin ada beberapa tulang iga Kim sudah patah atau hilang. Lalu diafragma Kim kemungkinan besar telah rusak. Jadi benjolan yang tadi Ibu lihat kemungkinan besar itu organ tubuh dari rongga perut. Lalu, karena diafragma rusak maka tekanan di rongga dada menjadi turun sehingga paru-paru sulit bekerja.”

“Kapan kira-kira patahnya atau hilangnya terjadi. Dan apa biasanya penyebabnya?”

“Sulit untuk memperkirakan kapan terjadinya dan apa penyebabnya kalau hanya dilihat dari luar. Tapi bisa disebabkan oleh benturan.”

“Saya anjurkan Kim tinggal dulu disini supaya bisa awasi. Jadi kalau ada apa-apa saya bisa segera ambil tindakan. ”

Dengan berat hati saya tinggalkan Kim. “Saya tinggalkan kamu disini bukan karena saya tidak sayang, tapi karena kamu akan ditangani oleh ahlinya. Besok saya kesini,” saya berbisik sambil mengusap kepalanya. Matanya yang terpejam, tidak membuka ketika saya pergi. Napasnya berat tapi ada.

<>

Kim biasanya menemani saya melewatkan waktu siang saat saya sendiri di rumah, mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Selagi saya menyetrika, saya biasa mendiskusikan cerita sinetron dengan Kim, atau membicarakan kabar-kabar tentang pribadi artisnya.

Kalau saya sedang duduk di sofa menonton tv, kadang-kadang dia ikut duduk. Sering terjadi, dia pelan-pelan menyentuhkan hidungnya ke tangan, lalu bergerak ke atas. Kalau sudah sampai ke leher biasanya saya mengibaskan tangan sambil berteriak mengusirnya :” Kim .. berhenti … geli. Kamu tidak sopan.” Kalau sudah diperlakukan seperti itu, dia lalu menghadapkan wajahnya ke tv. Tapi entah dia menontonnya atau apa.

Kalau suami saya sedang tidak mau diganggu dia, dia biasanya disuruh main di halaman, lalu pintu ditutup. Kalau hari sedang tidak begitu nyaman, biasanya dia datang ke jendela yang ada di samping meja tempat saya biasa mengetik. Dia tidak mengetuk jendela, tapi hanya berdiri di luar sambil memperlihatkan ekspresi minta dikasihani. Kalau sudah begitu saya tutup pintu kamar kerja saya, lalu saya biarkan dia masuk kamar lewat jendela. Saya biarkan dia bermain di dalam kamar. Dengan secarik kertas, atau sebuah kantong plastik dia bisa melewatkan waktu berjam-jam.

<>

Saya mengirim sms ke suami saya. Pendek saja, takut mengganggu konsentrasi dia dalam bekerja. “Mas, Kim meninggal.” Lalu dia membalas. “Kamu bisa menanganinya sendiri? Atau saya harus pulang?”. Saya balas lagi, “Ngak usah lah. Saya akan tangani sendiri.”

Saya merasa lebih bebas kalau menghabiskan waktu sedih saya sendirian, dengan cara saya sendiri. Kadang-kadang kalau sedang kesal, saya melakukan pekerjaan isik yang berat, sambil menahan kesal atau marah atau sedih.

Semua gambar dalam memori tentang Kim, mulai datang bergantian. Mulai dari saat kedatangannya yang pertama. Tidak banyak ekspresi yang bisa dia buat dengan wajahnya. Yang paling saya kenal adalah wajah meminta dikasihani, ditolong, atau dibantu. Suaranya bening, nyaring serta kekanak-kanakan. Belakangan suaranya agak berubah, mungkin karena memasuki usia tanggung.

Dia juga sangat aktif. Senang naik pohon, lemari, jendela atau rak buku. Beberapa kali jatuh. Tapi setiap kali jatuh, setelahnya dia segera bisa berjalan lagi dengan normal. Sebenarnya saya sangat khawatir dia mengalami retak tulang atau apa. Tapi sikapnya tidak menunjukan bahwa dia sudah terluka.

<>

Pasti ada orang iseng yang sudah menendang perutnya sehingga dia jatuh ke selokan dan membuat dia basah kuyup. Tendangan itu yang membuat diafragmanya rusak. Kim sudah sering jatuh sendiri dari ketinggian, tapi jalannya tetap tegak. Dia sangat alami, pasti dia punya mekanisme perlindungan diri dari luka karena jatuh. Jadi, luka pada diafragma ini pasti dibuat oleh serangan dari luar, dari orang, bukan terjadi waktu Kim jatuh sendiri. Kok orang bisa begitu tega? Apa salah Kim?

Dia pun sering jatuh sendiri ke got di depan rumah itu, tapi tidak pernah menyebabkan dia menjadi lemah dan meninggal seperti sekarang ini. Kalau air got itu begitu beracun sehingga kalau terminum bisa membuat meninggal, pasti Kim sudah sakit dan meninggal sejak dulu. Pasti kejatuhannya yang terakhir ini terjadi sewaktu diafragmanya sudah rusak. Dan kerusakan itu terjadi karena ditendang oleh orang.

Saya jadi mengutuk-ngutuk, entah kepada siapa.

<>

Agak siang, ada telepon lagi masuk.

“Bu Felicia, mungkin lebih baik saya saja yang membawa Kim pulang ke rumah Ibu. Saya sudah punya alamatnya.”

“Baik …” jawab saya singkat saja.

<>

“Ke belakang saja,” kata saya pada orang yang datang membawa Kim pulang. Lalu saya menunjuk ke halaman belakang. Disitu ada lubang yang tadi saya buat sendiri sambil menahan tangis. Tangan saya memberi isyarat agar Kim segera dimasukkan ke lubang itu.

“Tadi malam Kim sempat jalan sendiri. Tapi lalu tidur lagi, sampai meninggal.”

“Apakah infusnya dilanjutkan?”

“Tidak … pertimbangan saya … kalau diberi infus lagi maka kandung-kemihnya akan penuh air seni hasil metabolisme.”

Dalam pikiran saya … bagaimana Kim bisa bertahan kalau dia tidak mendapat asupan makanan. Tapi saya terlalu sedih untuk bisa berdebat.

Kim kini sudah kaku. Ditidurkan di tanah pada sisi kanannya. Mata yang kanan tertutup, yang kiri terbuka. Ada cairan keluar dari mulutnya. Pada dada kanannya, sebelah bawah, benjolan itu tampak lagi.

“Maafkan saya Kim … kalau saja saya ada disampingmu tadi malam tentu saya akan usap-usap benjolan itu sampai hilang, seperti kemarin,” saya berbisik.

Tanah pertama saya taburkan di atas mukanya. Saya tak ingin dia menatap saya selagi saya mengurug tubuhnya dengan tanah. Saya berbisik sambil bekerja dengan cangkul: “Saya beri kamu tanah paling subur Kim. Akan saya tanam bunga yang bagus di atas kuburanmu. Saya tidak ingin mengingat mukamu yang barusan. Saya ingin mengingat wajahmu yang kemarin, sebelum kamu tercebur di got. Dan juga wajah-wajahmu yang lain yang kamu tampakkan pada saya selama empat bulan kamu tinggal di rumah saya.”

<>

Empat bulan yang lalu Mingkem melahirkan tiga kucing kecil yang lucu. Mingkem sendiri entah kucing punya siapa, tapi dia sering datang ke rumah. Pembantu saya memberi nama dia Mingkem. Mingkem memilih sendiri tempat untuk melahirkan, yaitu di bawah tangga, di antara tumpukan koran lama. Saya beri nama anaknya Kim, Kum dan Kam. Seperti yang dikatakan orang, induk dan anak kucing itu berpindah tempat beberapa kali. Kadang-kadang Mingkem sendiri yang memilih tempat baru dan memindahkan anak-anaknya. Kadang-kadang saya yang memilihkan untuk mereka.

<>

Selamat jalan Kim. Mungkin nanti kita bertemu lagi. Seharusnya kita bisa bersama-sama lebih lama. Saya akan jaga dua saudaramu, Kum dan Kam.

No comments:

Post a Comment

Jangan beriklan di sini!